
Bagaimana bisa sebuah tempat makan di depan stasiun kereta menjual salah satu masakan terbaik di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Ada rasa yang tidak bisa Anda rasakan di tempat lain saat memasuki jalan kecil menuju tempat dimana Gudeg Bu Tinah berada:
Hiruk pikuk orang yang keluar masuk stasiun; suara sepeda motor dan becak bertabrakan; gemuruh kereta api melintas tepat di atas kami – sungguh gambaran sudut ibu kota yang tak lekang oleh waktu. Warung makan Gudeg Bu Tinah berada di tengah situasi ini, berdesak-desakan dengan beberapa warung makan lainnya, yang kesemuanya mempunyai satu tujuan:
Menjadi pendulum lapar nalar manusia.
Ini bukan kali pertama saya mengunjungi Gudeg Bu Tinah, mungkin sudah puluhan kali, termasuk sarapan pagi di Minggu pagi saat saya masih kecil bersama kakek dan nenek saya di rumahnya di kawasan Gudeg Bu Tinah Menteng. Bu Tinah adalah satu dari jutaan orang dari berbagai wilayah Indonesia yang setelah kemerdekaan berbondong-bondong ke Jakarta untuk mencari nafkah. Saat itu, pada tahun 1960-an – saat masih muda – Bu Tinah membantu bibinya berjualan gudeg di Pasar Boplo yang masih lembap dan sederhana.
Singkat cerita, Bu Tinah meneruskan usaha gudegnya, berjualan di lokasi yang sama selama puluhan tahun. Pada tahun 1990-an, Gudeg Bu Tinah dipindahkan ke bawah Stasiun Gondangdia dan pada tahun 2010-an dipindahkan ke lokasi sekarang. Memang benar perubahan lokasi Gudeg Bu Tinah seakan tidak pernah berhenti, namun yang tetap sama adalah kualitas makanan yang disajikan. Sajian yang saya maksud ini merupakan perpaduan kerekek sayur nangka yang pedas, manis, dan asin, serta opor ayam yang berbumbu kental dan empuk. Trio masakan nasi gudeg gandum utuh yang sayang untuk dilewatkan. Jika hanya ada satu hal yang salah atau aneh, itu dia. Untuk apa? Sebab ketiganya mempunyai kedudukan yang saling melengkapi.
Di Gudeg Ibu Tinah, kerecek menghadirkan rasa pedas dan kaya rasa yang nikmat. Lalu sedikit demi sedikit, rasa manis merayapi mulut melalui setiap potongan nangka. Berbeda dengan gudeg jenis lain yang cenderung sangat manis, nangka Bu Tinah juga memiliki rasa yang nikmat mengimbangi manisnya gula merah. Lalu akan muncul rasa creamy saat menyantap kuah opor dengan nasi empuk. Siapa yang tidak terpesona dengan sensasi harmoni ketiga bahan tersebut? Mulutku terasa panas saat menggigit cabai merah yang diaduk hingga meledak, dan santapan di Gudeg Bu Tinah pun mencapai puncaknya. Saat mulutku makan dengan penuh nafsu, aku melihat kerumunan orang berbaris di kiri dan kanan. Terbukti ramuan ini membuat lidah dan perut banyak orang mati rasa. Bu Tinah di usia senjanya masih aktif dan sibuk – terkadang ikut menegur pelanggan yang nakal – di belakang toko kecilnya. Energinya benar-benar terasa. Terutama dedikasi dan loyalitas yang ditunjukkannya selama puluhan tahun menjalankan apa yang saya anggap sebagai salah satu restoran terbaik di kawasan Menteng.
Saya punya beberapa saran. Jika ingin dibungkus untuk dibawa pulang, mintalah dibungkus dalam cetakan ramesan yang dilapisi daun pisang. Aroma daun pisang yang bercampur dengan nasi panas menjadi sensasi tersendiri yang tidak bisa diraih jika disajikan dengan peralatan mewah.